Abu Luthan, Ulama Tokoh Pendidikan di Aceh Utara Dengan Segala Kesederhanaannya.

Oleh ; Tgk. Saidul Bariza Agussalim Mahasantri Ma’had Aly Darul Munawwarah Dan
Guru Dayah Babussa’adah Al Munawwarah Simpang Dama, Aceh Utara
Abu Luthan bin Tgk. Abdul Ghani merupakan salah seorang ulama yang menghabiskan separuh hidupnya untuk pendidikan. Beliau lahir di Gampong Ulee Tanoh Kecamatan Tanah Pasir, Aceh Utara pada 28 April 1950. Abu Luthan menimba ilmu agama kepada Ayahnya sendiri, Tgk. Abdul Ghani. Kepada Ayahnya, Abu Luthan belajar beberapa disiplin ilmu dan dalam pembinaan tersebut, Abu lebih digembleng oleh Ayahnya dalam bidang akhlak. Sehingga, Abu Luthan menjadi seorang yang sangat santun, ramah dan sangat sosial terhadap sesama.
Selain kepada Ayahnya, Abu Luthan juga belajar memperdalam ilmu agamanya kepada Abu M. Ali bin Tgk. Mudatiya bin Tgk. Nyak Mada ( Kakek dari Abu Simpang Dama) dan kepada Tgk. Aji Kitab Alue Keujruen, Tanah Luas, salah seorang Ulama Sufi yang mastur ( tidak banyak dikenal oleh masyarakat).
Abu Luthan berasal dari keluarga sederhana yang paham ilmu Agama. Ayahnya, Tgk. Abdul Ghani merupakan keturunan dari Tgk. Chik di Mangra ( Tgk. Chik Blang Mee ) yang berasal dari Desa Blang Mee Geudong, Aceh Utara. Tgk. Abdul Ghani akhirnya pindah berkeluarga ke Gampong Ulee Tanoh, Simpang Dama, Aceh Utara hingga akhirnya beliau dipercaya untuk menjadi Khatib di Masjid Tuha Simpang Dama.
Setelah beranjak dewasa dan mumpuni dibidang ilmu Agama, Abu Luthan menikah dengan Ummi Aisyah. Dari pernikahan keduanya, lahirlah 4 orang putra yaitu Jamaluddin, Jailani, Sulaiman dan Tgk. Zulkarnaini (Naib Mudi 2 Ma’had Aly Darul Munawwarah, Inisiator Bank Santri Munawwarah juga Pimpinan Dayah Babussa’adah Al Munawwarah sekarang).
Setelah menikah, Abu mulai mendedikasikan dirinya dalam dunia pendidikan dalam mengorbit dan mengkaderisasi generasi di Aceh Utara, tepatnya di Gampong Ule Tanoh dan sekitarnya. Perlahan Abu mulai mengajar dan berkiprah dalam masyarakat, hampir semua lintas generasi di Desa Ulee Tanoh menimba ilmu kepada Abu Luthan. Hal ini, dipacu oleh kelembutan dan kepedulian Abu terhadap anak-anak didiknya yang sangat besar dan berintegritas, juga metode yang digunakan Abu dalam mengajar termasuk metode yang sangat efektif dalam meningkatkan semangat dan daya belajar santri.
Meningkatkannya minat santri dan bertambah peserta didik yang berdatangan, membuat Abu berinsiatif untuk mendirikan sebuah Balai Pengajian tempat belajarnya para santri. Balai itu akhirnya diberi nama “ Babussa’adah “. Abu terus mengajar tanpa kenal lelah dan tanpa pamrih demi mengharapkan ridha Allah serta menumpas kebodohan ditengah masyarakat, kala itu usia Abu masih terbilang muda, yakni 21 tahun.
Konsintensi Abu setiap kali mengajar, Abu selalu memberikan hadiah ( give ) berupa sedekah kepada siapa saja santri yang bisa membaca Al Qur’an dan berhasil mengkhatamkan satu materi hingga beranjak ke materi lainnya. Metode ini terbukti ampuh dan banyak para santri berdatangan dan belajar kepada Abu. Dari sinilah, terbukti bahwa Abu merupakan sosok yang dermawan dan sosial kepada siapapun, padahal Abu Luthan sendiri bukanlah orang yang kaya dan bergelimang harta, namun kendati begitu beliau memiliki sifat Qanaah ( menerima dan mensyukuri apa yang ada ) dan selalu ingin menyenangkan hati setiap masyarakat. Alhasil, hampir semua masyarakat di Desa tersebut mencintai dan menghormati Abu Luthan sebagai sosok guru yang dijadikan panutan dan tempat masyarakat meminta petuah kala itu.
Dalam kesehariannya, Abu bekerja mencari nafkah sebagai pedagang, pernah dan berlangsung cukup lama Abu menjual ikan-ikan segar di Simpang Dama. Mencari nafkah tidak menghalangi Abu dari kedekatannya dengan sang pencipta, Abu selalu bersiap setengah jam sebelum adzan untuk berangkat ke Masjid dan melaksanakan kewajiban. Abu juga menunjukkan prinsip tawakkal beliau, beliau meninggalkan dagangannya disitu dalam waktu hampir 2 jam, dan tiap kali ada pembeli mereka selalu bersikap jujur terhadap dagangan yang dijual oleh Abu Luthan. Kejujuran, ketaatan dan persatuan yang ditanamkan oleh Abu menghasilkan dampak positif dalam prinsip sebahagian masyarakat didesa tersebut kala itu.
Pengabdian Abu kepada masyarakat tidak terbatas sampai disitu saja, Abu juga seringkali diundang untuk menghadiri berbagai kegiatan yang diadakan oleh masyarakat setempat dan sekitarnya, semua undangan yang Abu terima, selalu Abu penuhi tanpa memandang kasta dan tahta. Bahkan, tak jarang Abu lebih sering menghadiri undangan dari kelas menengah kebawah ketimbang sebaliknya, karena prinsip Abu
yang tidak mau membuat masyarakat yang ekonominya rendah menjadi kecewa, sedih dan sampai berkecil hati.
Beberapa riwayat mengatakan, bahwa Abu salah seorang Ulama Mastur yang mumpuni dibidang Ilmu Tajwid & Tahsin Al Qur’an dengan segala kesederhanaan, kebaikan dan ketaatan serta ketakwaan beliau kepada Allah SWT. Dalam pengembangan bathiniyah ataupun tasawuf, Abu Luthan mengamalkan Thariqat Haddadiyah yang diambil langsung dari Ayahnya Tgk. Abdul Ghani yang bersambung sanad ke Tgk. Chik di Mangra Blang Mee dari Syeikh Murtadhabuddin ( Tgk. Chik di Meuling ) yang sekarang makam beliau berada di samping Masjid Simpang Meuling, Aceh Utara.
Abu Luthan terkenal sebagai pengamal Thariqat yang konsisten dan taat, kesehariannya Abu selalu membacakan zikir-zikir yang termaktub dalam Thariqah Haddadiyah, dan hampir beberapa keturunan Abu keatas mengamalkan Thariqat tersebut. Thariqah-thariqah ini pernah diijazahkan kepada beberapa murid-murid beliau, adapula yang datang dari beberapa daerah untuk mengambil ijazah Thariqat Haddadiyah kepada Abu Luthan kala itu.
Abu Luthan bin Tgk. Abdul Ghani tutup usia pada 06 Syawwal 1433 H atau bertepatan pada 23 Agustus 2012 malam Jum’at di Rumah Sakit BMC Bireun. Jenazah Abu dimakamkan di kediaman beliau, Komplek Dayah Babussa’adah Al Munawwarah Simpang Dama, Aceh Utara.
Dedikasi Abu untuk pendidikan di Aceh Utara, berlangsung selama kurun waktu kurang lebih 41 tahun terhitung dari tahun 1971 saat Abu mendirikan balai pengajian Babussa’adah. Artinya hampir seluruh hidupnya Abu hibahkan untuk kepentingan Agama dan Masyarakat. Ulama Mastur asal Ulee Tanoh, Tanah Pasir, Aceh Utara ini pun berpulang ke Rahmatullah dalam usia 62 tahun. Kepergian Abu, menyisakan sejumlah kenangan dan rasa pilu ditengah ummat kala itu, bahkan sampai hari ini kenangan Abu masih sangat terkenang kental di tengah-tengah masyarakat sekitar. Sehingga, tak henti setiap lebaran, para alumni dan murid-murid Abu dari berbagai daerah datang menziarahi makam beliau.
Simpang Dama, 23 September 2024